“…malam ibu, mengapa hari ini ibu tidak hadir? Padahal saya sangat siap belajar dengan ibu, kawan-kawan lain juga berharap hal yang sama…”
Itu adalah sebuah kalimat yang terkirim dari salah seorang mahasiswa,
melalui sebuah percakapan dalam face book. Tidak sedikit pesan-pesan
senada dikirim ke inbox saya. Sungguh merupakan kebahagiaan yang tidak
ternilai, jika bisa berkomunikasi dengan mereka tanpa batas ruang dan
waktu. Jiwa saya seolah menyatu dengan mereka, setiap kali mereka
memanggil saya dengan sebutan “ibu”. Saya benar-benar merasa seperti
menjadi ibu bagi mereka.
Keadaan hati yang seperti itu (dirindukan dan dipertanyakan
ketidakhadiran saya), dahulu tidak pernah saya alami. Enam belas tahun
menjadi guru/dosen, satu hal yang sangat menarik hati saya adalah,
“Mengapa yang namanya siswa atau mahasiswa selalu saja gembira kalau ada
pelajaran kosong atau guru/dosen tidak hadir…”
Ini menjadikan saya berfikir, apakah tidak mungkin membalik suatu keadaan?
Saya kemudian berimajinasi, berandai-andai mencoba menciptakan sebuah
tempat pembelajaran tidak sarat beban. Ruang kelas, gedung sekolah,
kampus dan para guru diciptakan untuk menjadi lahan dan ladang
“permainan” yang menggembirakan, agar para pembelajar selalu pulang
membawa “sesuatu ilmu yang manfaat” bukan yang sia-sia. Saya
membayangkan, seluruhnya, baik siswa/mahasiswa maupun guru/dosen,
menjadi selalu dalam keadaan “rindu belajar dan merindukan
pembelajaran”.
Setiap memulai kelas, dengan tersenyum, saya selalu menyapa satu per
satu dari mereka, menanyakan bagaimana keadaan kesehatan mereka dan
keadaan hati mereka saat itu.
Saya tidak akan memulai kelas, jika masih ada satu saja anggota kelas
yang tidak bahagia di hadapan saya. Saya harus membuat mereka nyaman dan
bahagia terlebih dahulu, sebelum memulai sebuah topik. Sebab, keadaan
hati mereka yang bahagia, penting bagi saya, ini akan memudahkan mereka
menyerap materi pembelajaran.
Tetapi yang terpenting dari itu semua adalah saya selalu membawa mereka
dalam doa-doa malam saya. Kedengarannya mungkin terlalu cengeng dan
berlebihan, namun saya sendiri tidak tahu kenapa saya selalu meneteskan
air mata setiap kali saya mengaku kepada Tuhan bahwa saya sungguh
mencintai dan menyayangi mereka semua tanpa kecuali.
Atas rasa itu, saya meminta Tuhan untuk memperhatikan siswa/mahasiswa
dan juga seluruh alumni, agar DIA melimpahi mereka dengan segala
kebaikan, agar DIA menolong mereka yang menghadapi kesulitan, agar DIA
mencahayai mereka seluruhnya yang saya sayangi tanpa pilih kasih, agar
DIA memimpin mereka semua menjadi manusia-manusia yang bermanfaat bagi
sesamanya.
Hanya itu yang perlu saya lakukan. Hingga pada akhirnya, makin ke sini,
saya mencapai kebahagiaan itu. Menjadi sosok yang selalu dirindukan
kehadirannya. Menjadi penting kehadiran saya bagi mereka.
Saya hanya bisa berucap syukur, dimana kesyukuran itu tentu saja harus
dibarengi dengan meneliti keadaan-keadaan mana yang belum terpelajari
dan masih perlu dipelajari bersama-sama. Bagaimanapun, itu belumlah
sempurna, sebab keadaan selalu saja berubah. Saya pun masih dalam
perjalanan pembelajaran. Jangan-jangan ada yang perlu ditambahkan dan
harus diperbaiki.
Sumber : http://ayookbelajar.blogspot.co.id/2016/01/tips-menjadi-guru-yang-di-rindukan-siswa.html
Posting Komentar