Pentingnya peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) Indonesia saat ini telah menjadi pembicaraan hampir semua kalangan. Apalagi akhir – akhir ini sering diberitakan di media massa bahwa banyak tenaga kerja Indonesia (TKI) di luar negeri baik di Asia maupun Timur Tengah diperlakukan tidak adil dan tidak manusiawi oleh majikan. Hal ini menggambarkan rendahnya kualitas SDM Indonesia sehingga TKI di luar negeri sangat mudah mengalami tindak pelecehan harga diri. Berkaitan dengan rendahnya SDM Indonesia, UNDP merilis indeks pembangunan manusia (IPM) yang memeringkatkan 187 negara berdasarkan pendapatan, pencapaian pendidikan, dan angka harapan hidup. Yang mengejutkan adalah posisi Indonesia saat ini mengalami kemerosotan yang cukup tajam. IPM Indonesia pada tahun 2011 ini berada di peringkat 124 dari 187 negara. Ini menunjukkan terjadinya penurunan drastis. Sebab pada tahun 2010 posisi Indonesia pada peringkat 108 dari 169 negara (Kompasiana, 2011). Akibatnya tidak mengejutkan bila TKI di luar negeri kebanyakan menjadi pembantu rumah tangga dan buruh kasar, sedangkan yang bekerja sebagai profesional jumlahnya sangat sedikit. Sebaliknya banyak tenaga ahli dari negara maju seperti Amerika, Jepang, Australia bekerja di Indonesia. Hal ini menjadi ironi, mengingat Indonesia yang kaya sumber daya alam (SDA) tetapi miskin SDM yang berkualitas sehingga menjadikan Indonesia negara terbelakang dan selalu tergantung pada negara lain. Sebaliknya Jepang yang miskin SDA, karena kaya akan SDM yang berkualitas, akhirnya menjadi negara yang maju. Dengan demikian betapa vitalnya peran SDM dalam pembangunan sebuah negara. Kualitas SDM erat kaitannya dengan kualitas pendidikan. SDM yang berkualitas merupakan hasil dari pendidikan yang berkualitas. Oleh karena itu untuk meningkatkan kualitas SDM, kualitas pendidikanlah yang harus ditingkatkan. Dalam hal ini pemerintah telah banyak melakukan upaya, diantaranya dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Pada pasal 19 disebutkan bahwa proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreatifitas dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik. Sehingga guru dituntut mempunyai kemampuan menyelenggarakan pembelajaran yang berkualitas sebagaimana dimaksudkan di atas. Dalam meningkatkan kualitas pembelajaran di sekolah, banyak faktor yang harus diperhatikan seperti: pendidik (guru), siswa, sarana dan prasarana, laboratorium dan kelengkapannya, lingkungan, dan manajemennya. Dalam era sentralisasi pendidikan, peningkatan kualitas pembelajaran dari segi pendidik (guru) biasanya dilakukan dengan kegiatan inservice teacher training yang berupa penyetaraan, pelatihan, penataran, seminar atau lokakarya, atau kegiatan – kegiatan lain yang sejenis. Setelah mengikuti kegiatan tersebut, diharapkan guru dapat menerapkan hasil training dalam pembelajaran di kelas (Sukirman, 2006 : 2). Kegiatan – kegiatan tersebut telah banyak dilaksanakan dengan biaya yang tidak kecil yang dikeluarkan oleh pemerintah, baik yang berasal dari rupiah murni maupun dari dana pinjaman luar negeri. Banyak atau sedikit, pasti ada sumbangan kegiatan tersebut dalam meningkatkan mutu pembelajaran. Tetapi kebanyakan setelah kegiatan inservice teacher training, hasil monitoring yang mempersoalkan apakah ada peningkatan mutu pembelajaran yang dilakukan oleh para peserta ternyata tidak menunjukkan peningkatan hasil yang memuaskan. Padahal pada dasarnya, hakikat pelaksanaan kegiatan inservice teacher training selain meningkatkan kualitas guru, yang lebih penting adalah guru peserta inservice teacher training adalah guru mampu menerapkan hasil training dalam proses pembelajaran di kelasnya dan membagikan pengetahuan baru tersebut kepada rekan-rekan guru di sekolahnya atau di kelompok Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP). Namun masih banyak guru setelah mengikuti kegiatan inservice teacher training, mereka tidak mengubah cara pembelajaran untuk para siswa. Hal ini sangat dimungkinkan karena dalam kegiatan training tersebut tidak diberikan contoh kongkret pembelajaran di kelas secara nyata, sehingga terkesan proses inservice teacher training tidak memberikan manfaat nyata bagi kemajuan pendidikan, jika hal ini dibiarkan terus berlangsung tanpa ada solusi yang tepat maka akan semakin memperburuk kualitas pendidikan di Indonesia. Potret pendidikan Indonesia saat ini secara umum dapat digambarkan sebagai berikut. 1. Masalah prinsip a. Pandangan pendidikan bersifat microscopis. Pendidikan dipandang sebagai dunia tersendiri yang terpisah dan terpencil dari aspek – aspek. b. Pendidikan kurang memiliki keterkaitan dengan pembangunan sehingga menghasilkan tamatan sekolah menengah yang serba canggung dan banyak yang menjadi pengangguran. c. Ada tembok pemisah antara sekolah dengan masyarakat. 2. Masalah tujuan a. Pembentukan manusia Pancasila sebagai tujuan pendidikan nasional kurang dijabarkan secara terperinci. b. Tujuan kurikulum hanya menitikberatkan kepada pengetahuan dan kecerdasan semata. c. Tujuan instruksional berpusat pada guru 3. Kurikulum a. Kurikulum menitikberatkan pada standar umum dan kemampuan rata – rata peserta didik. b. Kurikulum berdasarkan subject matter centered (berpusat pada mata pelajaran) c. Belajar dibatasi oleh dinding kelas dan sekolah d. Pendekatan kurikulum lebih terikat pada textbooks, mengahafal rumus – rumus, tahun – tahun sejarah dan sebagainya, kurang memberikan pengetahuan dan pengalaman hidup yang nyata pada anak didik e. Silabus pada kurikulum sekolah belum disusun dalam paket – paket. 4. Metode mengajar a. Metode mengajar lebih berpusat pada guru b. Metode mengajar verbalitas – intelektualitas mengutamakan pemberian ilmu sebanyak – banyaknya, teoritis, steril dari dunia dan jiwa anak didik c. Metode mengajar berpusat pada guru d. Komunikasi guru dan siswa lebih bersifat menolong. 5. Anak didik a. Anak didik sering dipandang hanya sebagai objek b. Sekolah lebih menekankan pada sistem klasikal, dimana guru menganggap semua anak didik sama c. Kondisi struktur pengorganisasian sekolah mengakibatkan banyakanya angka putus sekolah pelajar/mahasiswa di Indonesia 6. Guru a. Guru lebih banyak berfungsi sebagai pengajar sekolah b. Guru cukup mengajar dengan buku dan menggunakan metode ceramah c. Kurang kreatif, inovatif dan motivasi kerja rendah (Tammy, 2012). Untuk mengatasi permasalahan pendidikan tersebut di atas khususnya yang berkaitan dengan guru dan siswa dalam upaya untuk meningkatkan hasil pembelajaran, maka diperlukan solusi yaitu penerapan lesson study untuk mengatasi masalah praktik pembelajaran yang selama ini dipandang kurang efektif karena proses belajar mengajar pada umumnya cenderung dilakukan secara konvensional yaitu melalui ceramah. Untuk merubah kebiasaan praktik pembelajaran dari pembelajaran konvensional ke pembelajaran yang berpusat pada siswa memang tidak mudah, terutama jika diterapkan pada guru – guru yang menolak perubahan/inovasi. Konsep dan praktik Lesson Study pertama kali dikembangkang oleh para guru pendidikan dasar di jepang, yang dalam bahasa jepang disebut kenkyuu jugyo. Adalah Makoto Yoshida, orang yang dianggap berjasa besar dalam mengembangkan Lesson Study. Keberhasilan Jepang mengembangkan Lesson Study dan mulai diikuti oleh beberpa negara lain, termasuk Amerika Serikat yang secara gigih dikembangkan dan dipopulerkan oleh Catherine Lewis yang telah melakukan penelitian tentang Lesson Study di Jepang sejak Tahun 1993. Sementara di Indonesia pun sudah gencar disosialisasikan untuk dijadikan sebuah model dalam rangka meningkatkan proses pembelajaran siswa, bahkan pada beberapa sekolah sudah mulai dipraktikkan. Lesson Study bukanlah suatu strategi atau metode dalam pembelajaran, tetapi merupakan salah satu upaya pembinaan untuk meningkatkan proses pembelajaran yang dilakukan oleh sekelompok guru secara kolaboratif dan berkesinambungan, dalam merencanakan, melaksanakan, mengobservasi dan melaporkan hasil pembelajaran. Lesson Study bukan sebuah proyek sesaat, tetapi merupakan kegiatan terus menerus yang tiada henti dan merupakan sebuah upaya untuk mengaplikasikan prinsip – prinsip dalam Total Quality Management, yakni memperbaiki proses dan hasil pembelajaran secara terus menerus, berdasarkan data. Lesson Study merupakan kegiatan yang dapat mendorong terbentuknya sebuah komunitas belajar (learning society) yang secara konsisten dan sistematis melakukan perbaikan diri, baik pada tataran individual maupun manajerial. Slamet Mulyana (2007) memberikan rumusan tentang Lesson Study sebagai salah satu model pembinaan profesi pendidik melalui pengkajian pembelajaran secara kolaboratif dan berkelanjutan berdasarkan pada prinsip – prinsip kolegalitas dan mutual learning untuk membangun komunitas belajar. Sementara itu, Catherine Lewis (2002) menyebutkan bahwa: “Lesson study is a simple idea. If you want to improve instruction, what could be more obvious than collaborating with fellow teachers to plan, observe, and reflect on lessons? While it may be a simple idea, lesson study is a complex process, supported by collaborative goal setting, careful data collection on student learning and protocols that enable productive discussion of difficult issues”. (Lewis, 2002). Bill Cerbin & Bryan Kopp (2012) mengemukakan bahwa Lesson Study memiliki 4 (empat) tujuan utama, yaitu untuk : (1) memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang bagaimana siswa belajar dan guru mengajar; (2) memperoleh hasil – hasil tertentu yang dapat dimanfaatkan oleh para guru lain; (3) meningkatkan pembelajaran secara sistematis melalui inkuiri kolaboratif; (4) membangun sebuah pengetahuan pedagogis, dimana seorang guru dapat menimba pengetahuan dari guru lain. Untuk membelajarkan guru melaksanakan lesson study tidak cukup bila guru dikenalkan pada apa dan bagaimana melaksanakannya , tetapi juga perlu diperkenalkan mengapa, apa tujuan jangka panjang dan jangka pendek pelaksanaannya sehingga lesson study yang dilakukan tidak kehilangan ruh. Guru perlu diperkenalkan pada apa persyaratan pelaksanaan lesson study, apa kesulitan dan hambatan pelaksanaannya dan tentu adanya komitmen untuk kemaslahatan anak bangsa.

Posting Komentar

 
Top