Oleh Puji Iryanti *)
Go international mungkin menjadi angan-angan sebagian dari kita, tidak hanya menjadi angan-angan para artis yang bekerja di dunia hiburan, tetapi juga para profesional lain termasuk orang-orang yang bekerja di bidang pendidikan. Angan-angan ini mungkin saja bisa menjadi kenyataan seperti yang penulis alami. Penulis beruntung dapat merasakan bekerja di lingkungan organisasi pendidikan dan kebudayaan internasional yaitu di markas UNESCO (United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization) di Paris, Perancis, tepatnya di Secretariat of the International Task Force on Teachers for Education for All (EFA). Proses perekrutan Penulis dihubungi oleh salah seorang panitia perekrutan dari Kemendikbud pada bulan Oktober tahun 2011 untuk mengikuti proses seleksi. Awalnya dikatakan akan ada semacam tes di Jakarta diikuti dengan wawancara. Namun kemudian dikatakan ada hambatan teknis sehingga proses seleksi hanya dilakukan melalui wawancara jarak jauh. Penulis mendapat kabar lisan pada bulan November 2011 bahwa dari sekian kandidat, penulis terpilih untuk ditugaskan di Secretariat of Task Force on Teachers for EFA di UNESCO Headquarters di Paris. Singkat cerita, setelah proses administrasi selesai akhirnya pada tanggal 9 Mei 2012 penulis terbang ke Paris untuk memulai suatu pengalaman baru. Apa itu the Task Force on Teachers for EFA? Gerakan Education for All (EFA) adalah suatu komitmen masyarakat internasional untuk memberikan pendidikan dasar bermutu kepada semua anak, kaum muda dan dewasa. Gerakan ini diluncurkan pertama kali pada World Conference on Education for All pada tahun 1990 oleh UNESCO, UNDP, UNFPA, UNICEF and the World Bank. Pada waktu inisiatif ini diluncurkan, diharapkan Education for All sudah tercapai pada tahun 2015. Setelah 10 tahun inisiatif ini, ternyata masih banyak negara yang masih jauh untuk mencapai harapan tersebut di atas. Hal itu dibahas pada pertemuan the World Education Forum di Dakkar, Senegal pada 26-28 April 2000. Komitmen untuk mencapai EFA pada tahun 2015 ini dikuatkan oleh 164 negara. Mereka mengidentifikasi 6 sasaran kunci yang fokusnya adalah pendidikan untuk semua anak, kaum muda dan dewasa sebagai berikut. Goal 1 Expanding and improving comprehensive early childhood care and education, especially for the most vulnerable and disadvantaged children. Goal 2 Ensuring that by 2015 all children, particularly girls, children in difficult circumstances and those belonging to ethnic minorities, have access to, and complete, free and compulsory primary education of good quality. Goal 3 Ensuring that the learning needs of all young people and adults are met through equitable access to appropriate learning and life-skills programmes. Goal 4 Achieving a 50 percent improvement in levels of adult literacy by 2015, especially for women, and equitable access to basic and continuing education for all adults. Goal 5 Eliminating gender disparities in primary and secondary education by 2005, and achieving gender equality in education by 2015, with a focus on ensuring girls’ full and equal access to and achievement in basic education of good quality. Goal 6 Improving all aspects of the quality of education and ensuring excellence of all so that recognized and measurable learning outcomes are achieved by all, especially in literacy, numeracy and essential life skills. Pertemuan di Dakkar ini memberikan mandat kepada UNESCO untuk mengoordinasi masyarakat internasional bersama-sama dengan beberapa organisasi lain yaitu UNDP, UNFPA, UNICEF dan the World Bank. Sebagai koordinator, UNESCO memfokuskan aktivitas EFA dalam 5 area kunci yaitu policy dialogue, monitoring, advocacy, mobilisation of funding, dan capacity development. Untuk memenuhi tugas ini UNESCO membentuk the High-Level Group (HLG) on EFA, Working Group (WG) on EFA dan International Advisory Panel (IAP) on EFA, dan menyelenggarakan pertemuan-pertemuan tetap untuk meninjau kemajuan EFA berdasarkan EFA Global Monitoring Report (GMR). Peranan UNESCO sebagai koordinator global EFA semakin berkembang sejak tahun 2000, dipengaruhi oleh perubahan-perubahan dalam konteks global yang mempengaruhi pergerakan EFA. Pada the Eighth High Level Group meeting di Oslo, Norwegia tanggal 16-18 Desember 2008 pembentukan International Task Force on Teachers for Education for All (EFA) disetujui. UNESCO menjadi host dari Secretariat of the Task Force dan memberikan fasilitas ruang kantor dan peralatannya. Secara administrasi Secretariat of the Task Force mengikuti aturan-aturan yang berlaku di UNESCO. Tujuan pendirian Task Force on Teachers atau sering disebut juga Teacher Task Force (TTF) adalah untuk meningkatkan perhatian terhadap masalah-masalah yang berkaitan dengan guru untuk mendukung percepatan pencapaian tujuan Education for All. TTF membangun, menguatkan intervensi dan mengembangkan inisiatif global, regional dan nasional bersama-sama dengan para mitra dengan tujuan untuk mengatasi tiga gap (celah) yang berhubungan dengan guru yaitu: (a) celah kebijakan (b) celah kapasitas dan (c) celah pendanaan. Indonesia merupakan salah satu anggota TTF yang saat ini sedang menjadi anggota Steering Committee. Pada periode 2009 sd Mei 2012 Indonesia juga menjadi salah satu co-chair. TTF sendiri memiliki dua co-chair, satu dari donor dan satu dari anggota selain donor. Sampai dengan Juli tahun 2014, TTF memiliki 95 anggota (sumber www.teachersforefa.unesco.org) dalam 5 kategori yaitu (a) National Governments (all World regions), (b) Intergovernmental Organizations, (c) International Non-Governmental Organizations, Civil Society Organizations and global teachers organizations (d) Bilateral and multilateral international development agencies, dan (e) Global private sector organizations and foundations. Sumber pendanaan utama program TTF berasal dari European Comission (EC) dan Norwegia. Komitmen Indonesia dalam mendukung program-program Task Force diwujudkan dengan mengirimkan tenaga ahli untuk membantu tugas Secretariat of TTF mulai tahun 2010. Berdasarkan komitmen inilah penulis dikirim untuk membantu (seconded) implementasi program TTF di Secretariat of TTF. Kontribusi di TTF Program tahunan TTF diturunkan dari Rencana Strategis. Dua rencana ini harus mendapat persetujuan dari pertemuan anggota Steering Committee sebelum diimplementasikan. Kepala Sekretariat kemudian menugaskan program specialist untuk mengoordinasikan pelaksanaan program-program tersebut. Sejak Mei 2012 sampai dengan Desember 2014 penulis ditugaskan untuk mengoordinasikan beberapa program antara lain Study on Policies and Practices on TVET Teachers and Instructors in the Arab Region – (TVET: Technical and Vocational Education and Training), Teacher Management in Fragile States (program ini masih berlangsung), Indicators for Teachers and Teaching Experts Meeting kerjasama dengan UNESCO Institute for Statistics, International High Level Symposium yang diselenggarakan oleh MASHAV-Ofri Aharon Center Israel dan pembuatan video TTF. F:\bing2015\publikasi\liputan\13_Iryanti_18Mei\gb2.jpg Selain itu penulis bersama-sama dengan semua staf di Sekretariat terlibat dalam persiapan dan pelaksanaan program tahunan TTF yaitu International Policy Dialogue Forum (2013 di Kinshasa, Democratic Republic of Kongo dan 2014 di Rabat, Morocco). Kegiatan lain yang dilakukan penulis adalah berkoordinasi dengan rekan-rekan sejawat di Secretariat dan anggota-anggota TTF dalam mendukung acara tahunan Global Action Week (diselenggarakan oleh Global Campaign for Education umumnya pada bulan Mei), World Teachers’ Day (diselenggarakan oleh UNESCO dan Education International setiap tanggal 5 Oktober), menyusun draft laporan tahunan dan menjadi focal point dari Secretariat pada forum-forum tertentu. F:\bing2015\publikasi\liputan\13_Iryanti_18Mei\gb3.jpg F:\bing2015\publikasi\liputan\13_Iryanti_18Mei\gb4.jpg Tantangan Salah satu tantangan bekerja di lingkungan UNESCO Paris adalah masalah bahasa. Bahasa pengantar utama yang dipakai di UNESCO Paris adalah bahasa Inggris dan Perancis. Namun demikian beberapa staff lebih senang berbicara menggunakan bahasa Perancis. Dalam rapat-rapat internal beberapa peserta juga lebih senang menggunakan bahasa Perancis. Peserta pertemuan atau forum yang berasal dari Afrika banyak yang lebih senang menggunakan bahasa Perancis dalam korespondensi lewat email. Penulis pada awal mulanya tidak bisa berbahasa Perancis, hanya bisa mengucapkan merci (terimakasih) dan comment allez vous? (apa kabar?). Namun penulis mengambil kursus bahasa Perancis selama kurang lebih 2 semester di sela-sela waktu bekerja sehingga akhirnya sedikit-sedikit penulis dapat memahami beberapa percakapan yang tidak rumit. Masalah prosedur kerja juga merupakan suatu tantangan. Atasan langsung saya menyukai staffnya untuk mempunyai inisiatif. Sebelum rapat internal, agenda rapat sudah dikirimkan. Dengan demikin peserta rapat diharapkan memiliki ide-ide bagaimana untuk mengatasi suatu masalah tertentu atau bagaimana melaksanakan suatu program yang baru akan dimulai. Atasan saya memberi kesempatan kepada staffnya untuk mengemukakan ide-ide yang mungkin akan disetujui atau mungkin juga akan ditolaknya. Hal ini menyebabkan peserta rapat melakukan persiapan seperti searching atau berdiskusi dengan rekan-rekan lain yang sudah pernah mengalami masalah sejenis. Hal ini berbeda dengan budaya kerja di Indonesia yang umumnya dimulai dengan arahan atasan kemudian staff melaksanakan kegiatan sesuai dengan arahan itu. F:\bing2015\publikasi\liputan\13_Iryanti_18Mei\gb5.jpg Bagaimana caranya bekerja di UNESCO? Sebagaimana yang penulis gambarkan di atas, penulis tidak direkrut langsung oleh TTF atau oleh UNESCO. Untuk perekrutan langsung, UNESCO langsung mengumumkan lowongan di websitenya www.unesco.org atau http://en.unesco.org. Klik Join Us kemudian masuk Job Opportunities dan lihat posisi apa yang sedang lowong. Pelamar mengirimkan persyaratan yang diminta sebelum tanggal akhir yang diminta. Pelamar yang memenuhi persyaratan administrasi dan terseleksi oleh panitia perekrutan kemudian akan diwawancara (secara langsung atau melalui telepon). Sampai akhir tahun 2014 keterwakilan staff berkebangsaan Indonesia di UNESCO masih sangat kurang karena baru ada 2 orang. Dilihat dari keseimbangan keterwakilan staff internasional, masih ada peluang bagi orang Indonesia untuk berkarir di UNESCO. Penulis pernah diminta oleh atasan langsung untuk ikut terlibat dalam perekrutan staff seperti menyeleksi kelengkapan administrasi dan masuk dalam panel untuk mewawancara calon staff yang sudah lolos persyaratan administrasi. Minat untuk menjadi staff (programme specialist dan staff administrasi) di TTF sangat tinggi. Ketika dibuka lowongan untuk satu programme specialist tahun 2013 ada sekitar 225 berkas lamaran dari seluruh dunia dikirim ke TTF. Saking banyaknya peminat ini saringan menjadi sangat ketat. Akhirnya yang diterima adalah pelamar yang memiliki gelar akademis doktor, punya pengalaman bekerja dengan organisasi pendidikan internasional, memiliki pengalaman dalam melakukan penelitian dalam bidang pendidikan dan bisa bicara minimal satu bahasa internasional. Lesson learnt Dalam mengimplementasikan program-programnya, TTF selalu bekerjasama dengan kementerian pendidikan Negara-negara anggotanya, seksi guru di UNESCO dan partner. Ini membuat koordinasi internal dan internasional menggunakan berbagai media (email, telephone langsung, teleconference dan video conference) menjadi elemen penting. Semua pihak yang terlibat harus bersedia bekerja keras demi tercapainya tujuan yang diinginkan. UNESCO juga mengharapkan semua seksi dalam sektor pendidikan di UNESCO bekerjasama dengan kantor UNESCO yang terdapat di kota atau yang berdekatan dengan tempat dilaksanakan kegiatan. Implementasi program juga memberikan keuntungan lain yaitu terbukanya network yang lebih luas dengan “pemain-pemain” baru yang mempunyai visi yang sama dan tertarik untuk terlibat dalam pengimplementasian program bersama-sama. (Puji Iryanti- Widyaiswara PPPPTK Matematika) Sumber:http://p4tkmatematika.org/2015/06/berkarir-di-organisasi-pendidikan-internasional/

Posting Komentar

 
Top