Dalam rangka peningkatan mutu pendidikan. Fokus pembaharuan pendidikan nasional diletakkan pada tingkat sekolah, karena disadari bahwa sekolah merupakan gardan terdepan dalam peningkatan mutu pendidikan. Sekolah yang paling tahu kebutuhannya, dan yang paling tahu kemampuan yang diperlukan untuk menjalankan proses pendidikan. Sekolah sebagai sistem tersusun dari komponen konteks, input, proses, output, dan outcome. Konteks adalah eksternalitas yang berpengaruh terhadap penyelenggaraan sekolah. Sekolah yang mampu menginternalisasikan konteks kedalam dirinya membuat sekolah sebagai bagian dari konteks dan bukanya terisolasi darinya. Jika demikian, sekolah akan menjadi sekolah masyarakat dan bukannya sekolah yang berada di masyarakat. Konteks meliputi kemajuan ipteks, nilai dan harapan masyarakat, dukungan pemerintah dan masyarakat, kebijakan pemerintah, landasan yuridis, tuntunan otonomi, tuntunan globalisasi, dan tuntunan pengembangan diri serta peluang tamatan untuk melanjutkan pendidikan ataupun untuk terjun dimasyarakat. Input sekolah adalah segala sesuatu yang diperlukan untuk berlangsungnya proses pendidikan, khususnya proses belajar mengajar. Input digolongkan menjadi dua yaitu yang diolah dan pengolahnya. Input yang diolah adalah siswa dan input pengolah meliputi visi, misi, tujuan, sasaran; kurikulum; tenaga kepenidikan; dana, sarana dan prasarana, regulasi sekolah, organisasi sekolah, administrasi sekolah, budaya sekolah, dan masyarakat dalam mendukung sekolah. Proses adalah kejadian berubahnya sesuatu menjadi sesuatu yang lain. Proses meliputi manajemen, kepemimpinan, dan utamanya proses belajar mengajar. Dalam pendidikan, proses adalah kejadian berubahnya siswa belum terdidik menjadi siswa terdidik. Mutu proses belajar mengajar sangat tergantung perilaku guru di kelas (utamanya) dan perilaku siswa di kelas (utamanya). Perilaku guru di kelas misalnya, kejelasan mengajar, penggunaan variasi metode mengajar, variasi penggunaan media pendidikan, keantusiasan mengajar, penggunaan jenis pertanyaan, manajemen kelas penggunaan waktu, kedisiplinan, keempatian terhadap siswa, hubungan interpersonal, ekspektasi, keinovasian pengajaran, dan penggunaan prinsip-prinsip pengajaran dan pembelajaran yang efektif. Demikian juga, mutu interaksi siswa di kelas sangat tergantung mutu perilaku siswa dikelas. Perilaku di kelas misalnya, keseriusan belajar, semangat belajar, perhatian terhadap pelajaran, keingintahuan, usaha, pertanyaan, dan kesiapan belajar (mental dan fisik). Output pendidikan adalah hasil belajar (prestasi belajar) yang merefleksikan seberapa efektif proses belajar mengajar diselenggarakan. Artinya, prestasi belajar ditentukan oleh tingkat efektivitas danefisiensi proses belajar mengajar. Prestasi belajar ditunjukkan oleh peningkatan kemampuan dasar dan kemampuan fungsional. Kemampuan dasar meliputi daya pikir, daya kalbu, daya raga yang diperlukan oleh siswa untuk terjun di masyarakat dan untuk mengembangkan dirinya. Daya pikir terdiri dari daya pikir deduktif, induktif, ilmiah, kritik, kreatif, eksploratif, diskoveri, nalat, lateral, dan berpikir sistem. Daya kalbu terdiri dari daya spiritual, emosional, moral, rasa kasih sayang, kesopanan, toleransi, kejujuran dan kebersihan, disiplin diri, harga diri, tanggungjawab, keberanian moral, kerajinan, komitmen, estetika, dan etika. Daya raga meliputi kesehatan, kestaminaan, ketahanan, dan keterampilan (olahraga, keterampilan kejujuran, dan kesenian). Kemampuan fungsional antara lain meliputi kemampuan memanfaatkan teknologi dalam kehidupan, kemampuan mengelola sumberdaya (sumberdaya manusia dan sumber daya selebihnya yaitu uang, bahan, alat, bekal, dsb). Kemampuan kerjasama, kemampuan memanfaatkan informasi, kemampuan menggunakan sistem dalam kehidupan, kemampuan berwirausaha, kemampuan kejujuran, kemampuan menjaga harmonoi dengan lingkungan, kemampuan mengembangkan karir, dan kemampuan menyatukan bangsa berdasarkan Pancasila. Outcome adalah dampak jangka panjang dari output/ hasil belajar dampak bagi individu tamatan maupun bagi masyarakat. Artinya, jika hasil belajar bagus, dampaknya juga akan bagus. Dalam kenyataan tidak selalu demikian karena outcome dipengaruhi oleh banyak faktor diluar hasil belajar. Outcome memiliki dua dimensi yaitu: (1) kesempatan melanjutkan pendidikan dan kesempatan kerja, dan (2) pengembangan diri tamatan, sekolah yang baik mampu memberikan banyak akses/ kesempatan kepada tamatannya untuk meneruskan pendidikan berikutnya dan kesempatan untuk memiilh pekerjaan. Sekolah yang baik juga membekali kemampuan untuk mengembangkan dirinya dalam kehidupan. Pada dasarnya manajemen sekolah sekarang bisa dikatakan sebagai manajemen berbasis sekolah atau berpola MBS. Salah satu persoalan pendidikan yang sedang dihadapi bangsa kita adalah persoalan mutu pendidikan pada setiap jenjang dan satuan pendidikan nasional, antara lain melalui berbagai pelatihan dan peningkatan kompetensi guru, pengadaan buku dan alat pelajaran, perbaikan sarana dan prasarana pendidikan, dan meningkatkan mutu manajemen sekolah. Namun demikian, indikator mutu pendidikan belum menunjukkan peningkatan yang berarti. Sebagian sekolah, terutama di kota-kota, menunjukkan peningkatan mutu pendidikan yang mencakup menggembirakan, namun sebagian besar lainnya masih memprihatinkan, begitu juga pada sekolah terpencil yang ada di wilayah Kabupaten Tabalong. Berbagai pengamat dan analisis, ada berbagai faktor yang menyebabkan mutu pendidikan mengalami peningkatan secara merata. Pertama, kebijakan dan penyelenggaraan pendidikan nasional menggunakan pendekatan educational production function atau input-output analisis yang tidak dilaksanakan secara konsekwen. Pendekatan ini melihat bahwa lembaga pendidikan berfungsi sebagai pusat produksi yang apabila dipenuhi semua input yang diperlukan dalam kegiatan produksi tersebut, maka lembaga akan menghasilkan output yang dikehendaki. Pendekatan ini menganggap input pendidikan seperti pelatihan guru, pengadaan buku dan alat pelajaran, dan perbaikan sarana prasarana perbaikan lainnya dipenuhi, maka mutu pendidikan (output) secara otomatis akan terjadi. Kedua, penyelenggaraan pendidikan nasional dilakukan secara birokratissentralistik, sehingga meningkat sekolah sebagai penyelenggaraan pendidikan yang tergantung pada keputusan birokrasi-birokrasi. Kadang-kadang birokrasi itu sangat panjang dan kebijakannya tidak sesuai dengan kondisi sekolah setempat. Maka akses dari birokrasi panjang dan sentralisasi itu, sekolah menjadi tidak mandiri, kurangnya kreatifitas dan motivasi. Ketiga, minimnya peranan masyarakat khususnya orang tua siswa dalam penyelenggaraan pendidikan, partisipasi orang tua selama ini dengan sebatas pendukug dana, tapi tidak dilibatkan dalam proses pendidikan seperti mengambil keputusan, monitoring, evaluasi dan akuntabilitas, sehingga sekolah tidak memiliki beban dan tanggung jawab hasil pelaksanaan pendidikan kepada masyarakat/ orang tua sebagai stake holder yang berkepentingan dengan pendidikan. Keempat, krisis kepemimpinan, dimana kepala sekolah yang cenderung tidak demokratis, sistem topdown policy baik dari kepala sekolah terhadap guru atau birokrasi diatas kepala sekolah terhadap sekolah (Depdiknas, 2001, Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah, Jakarta: Proyek Peningkatan Mutu) Munculnya paradigma Guru tentang manajemen berbasis sekolah yang bertumpu pada penciptaan iklim yang demokratisasi dan pemberian kepercayyaan yang lebih luas kepada sekolah untuk menyelenggarakan pendidikan secara efisien dan berkualitas. Hal ini sangat memungkinkan dengan dikeluarkannya UU pemerintah UU No. 32 tahun 2004 yaitu undang-undang otonomi daerah yang kemudian diatur oleh PP No. 33 tahun 2004 yaitu adanya penggeseran kewenangan dan pemerintah pusat ke pemda dalam berbagai bidang termasuk bidang pendidikan kecuali agama, politik luar negeri, pertahanan dan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal. Pola bidang pendidikan diatas oleh UU No. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional dengan pasal 51 menyatakan pengadaan satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan menengah didasarkan pada standar pelayanan minimum dengan prinsip manajemen berbasis sekolah. Menurut direktorat Pembinaan Taman Kanak-Kanak dan Sekolah Dasar (2007:4). Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) pada hakikatnya adalah penyerasian sumber daya yang dilakukan secara mandiri oleh sekolah dengan melibatkan semua kelompok kepentingan (stakeholder) yang terkait dengan sekolah secara langsung dalam proses pengambilan keputusan untuk memenuhi kebutuhan peningkatan mutu sekolah atau untuk mencapai tujuan pendidikan nasional. Hal ini mengisyaratkan adanya otonomi sekolah secara menyeluruh, dalam kerangka pelaksanaan layanan pendidikan pada tingkat sekolah. Pengertian lain dari Manajemen Berbasis Sekolah menurut Suparman (2001:1) adalah: “Penyerasian sumber daya yang dilakukan secara mandiri oleh sekolah dengan melibatkan semua kelompok kepentingan yang terkait dengan sekolah secara langsung dalam proses pengambilan keputusan untuk memahami kebutuhan mutu sekolah atau untuk mencapai tujuan mutu sekolah dalam pendidikan nasional”. Dengan pemahaman di atas maka manajemen Berbasis Sekolah menuntut sekolah untuk secara mandiri menggali, mengalokasikan, menentukan prioritas, mengendalikan dan mempertanggungjawabkan pemberdayaan sumber-sumber baik kepada masyarakat atau pemerintah. Selain itu Manajemen Berbasis Sekolah juga menawarkan sekolah untuk menyediakan pendidikan yang lebih baik dan lebih memahami peserta didik. Pada dasarnya Manajemen Berbasis Sekolah merupakan suatu strategi pengelolaan penyelenggaraan pendidikan di sekolah yang menekankan pada pengerahan dan pendayagunaan sumber internal sekolah dan lingkungannya secara efektif dan efisien sehingga menghasilkan lulusan yang berkualitas dan bermutu, dalam kerangka pelaksanaan otonomi sekolah. Keberhasilan pendidikan tidak hanya ditentukan oleh proses pendidikan di sekolah dan tersedianya sarana dan prasarana saja, tetapi juga ditentukan oleh lingkungan keluarga dan atau masyarakat. Karena itu pendidikan adalah tanggung jawab bersama antara pemerintah (sekolah), keluarga dan masyarakat. Ini berarti mengisyaratkan bahwa orang tua siswa dan masyarakat mempunyai tanggung jawab untuk berpartisipasi, turut memikirkan dan memberikan bantuan dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Partisipasi yang tinggi dari orang tua dalam pendidikan di sekolah merupakan salah satu ciri dari pengelolaan sekolah yang baik, artinya sejauhmana masyarakat dapat diberdayakan dalam proses pendidikan di sekolah adalah indikator terhadap manajemen sekolah yang bersangkutan. Pemberdayaan masyarakat dalam pendidikan ini merupakan sesuatu yang esensial bagi penyelenggaraan sekolah yang baik. (Ahmad, 2002). Tingkat partisipasi masyarakat dalam proses pendidikan di sekolah ini nampaknya memberikan pengaruh yang besar bagi kemajuan sekolah, kualitas pelayanan pembelajaran di sekolah yang pada akhirnya akan berpengaruh terhadap kemajuan dan prestasi belajar anak-anak di sekolah. Siswa dapat belajar banyak karena dirangsang oleh pekerjaan rumah yang diberikan oleh guru dan akan berhasil dengan baik berkat usaha orang tua yang memperkuat dalam memberikan dukungan. Sebagai sekolah terpencil, maka diperlukan manajemen sekolah yang baik agar dapat menopang keberhasilan dalam sebuah organisasi, yaitu SMPN 5 Haruai. Namun kenyataan yang terlihat di lapangan, pendidikan pada SMPN 5 Harui belum berkembang sebagaimana mestinya. Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh kepala sekolah, untuk tahun 2011/2012 jumlah keseluruhan siswa kelas 8 sampai kelas 9 berjumlah 28 orang, laki laki 7 orang siswa dan perempuan 21 orang siswa. untuk tahun 2012/2013 jumlah keseluruhan siswa kelas 8 sampai kelas 9 berjumlah 31 orang, laki laki 11 orang siswa dan perempuan 20 orang siswa. untuk tahun 2013/2014 jumlah keseluruhan siswa kelas 8 sampai kelas 9 berjumlah 25 orang, laki laki 8 orang siswa dan perempuan 17 orang siswa. Pada tahun kedua dari data ini terlihat ada kenaikan, tetapi pada tahun terakhir terjadi penurunan yang signifikan dari 31 orang siswa menjadi 25 orang siswa. Guru yang mengajar di sekolah ini, berdasarkan data per Januari 2013 tercatat sebanyak 12 orang guru termasuk kepala sekolah ditambah 2 sebagai TU. Dari 12 orang guru tersebut diantaranya 9 orang guru pegawai negeri dan 3 orang guru masih berstatus honor. Dan kebanyakan dari guru tersebut berdomisili jauh dari sekolah, hampir sekitar 90 Km bahkan sampai 120 Km, dengan demikian para guru mengalami kesulitan untuk menuju ke sekolah, apalagi pada musim hujan. Dengan kondisi yang demikian diprediksi kegiatan pembelajaran tidak dapat berjalan secara optimal. Pada sisi lain partisipasi masyarakat, para orang tua yang merasa mempunyai anak lebih besar, kuat dan bisa mencari uang, mereka membawa ke hutan untuk menebang kayu, menanam padi di gunung. Dengan demikian para siswa diprediksi dalam kegiatan proses belajar mengajar siswa tidak optimal. Belum menggembirakannya perkembangan sekolah ini besar kemungkinan disebabkan manajemen Sekolah yang dilaksanakan oleh pihak SMPN 5 Haruai yang masih lemah, baik di segi manajemen ketenagaan, kesiswaan, keuangan lebih-lebih pada hubungan masyarakat dan layanan khusus. Oleh karena itu permasalahan manajemen sekolah pada SMPN 5 Haruai perlu dikaji dan diteliti lebih jauh untuk kemudian diusahakan peningkatannya. Hasilnya akan dijadikan bahan untuk menyusun tesis yang berjudul: MANAJEMEN SEKOLAH TERPENCIL (STUDI KASUS SMPN 5 HARUAI KECAMATAN BINTANG ARA KABUPATEN TABALONG).

Posting Komentar

 
Top