Dalam konteks otonomi dan desentralisasi pendidikan, keberhasilan atau kegagalan pendidikan di sekolah sangat bergantung pada guru, kepala sekolah dan pengawas, karena tiga figur tersebut merupakan kunci yang menentukan serta menggerakkan berbagai komponen dan dimensi sekolah yang lain. Sukses tidaknya pendidikan dan pembelajaran di sekolah sangat dipengaruhi oleh kemampuan kepala sekolah dalam mengelola setiap komponen sekolah (who is behind the school) (Mulyasa, 2012: 5). Dalam upaya menciptakan sumber daya manusia yang handal tidak lepas dari pengaruh pola kepemimpinan yang diterapkan dalam sebuah organisasi. Kepemimpinan merupakan suatu proses yang mengandung unsur mempengaruhi, adanya kerjasama dan mengarah pada suatu hal dan tujuan bersama dalam sebuah organisasi. Kepemimpinan mempunyai peranan sentral dalam dinamika kehidupan organisasi. Kepemimpinan berperan sebagai penggerak segala sumber daya manusia dan sumber daya lain yang ada dalam organisasi (Arifin, 2003: 23). Keberhasilan organisasi mencapai tujuan yang telah ditetapkan akan sangat bergantung pada kontribusi kepemimpinan. Demikian halnya kepemimpinan dalam sebuah organisasi sekolah, pola kepemimpinan yang diterapkan oleh kepala sekolah sebagai pemimpin akan sangat berpengaruh dalam menentukan arah dan kebijakan pendidikan yang dibangun. Untuk kepentingan tersebut kepala sekolah selayaknya mampu memobilisasi atau memberdayakan semua potensi dan sumber daya yang dimiliki, terkait dengan berbagai program, proses, evaluasi, pengembangan kurikulum, pembelajaran di sekolah, pengelolaan tenaga kependidikan, sarana prasarana, pelayanan terhadap siswa, hubungan dengan masyarakat, sampai pada penciptaan iklim sekolah yang kondusif. Semua ini akan terlaksana manakala kepala sekolah memiliki kemampuan untuk mempengaruhi semua pihak yang terlibat dalam kegiatan pendidikan di sekolah, yaitu untuk bekerjasama dalam mewujudkan tujuan sekolah. Kepala sekola harus mampu menggerakkan staf guru dan staf tata usaha untuk melaksanakan fungsi supervisi. Kepala sekolah bertanggungjawab atas penyelenggaraan kegiatan pendidikan, administrasi sekolah, pembinaan tenaga pendidikan dan pendayagunaan serta pemeliharaan sarana prasarana. Selain itu, pelaksanaan pendidikan dan pembelajaran di sekolah, menuntut guru dan kepala sekolah untuk memperhatikan dan memahami Standar Nasional Pendidikan (SNP) yang tertuang dalam PP 19 tahun 2005, beserta penjabarannya yang telah tertuang dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas). Kepala sekolah dan guru juga dituntut untuk memilah, memilih menambah dan mengurangi, serta melakukan seleksi, menjabarkan dasar yang tertuang dalam standar isi serta menimplementasikannya dalam pembelajaran, sehingga rumusan kompetensi beserta perangkat indikatornya benar – benar dapat membentuk kompetensi peserta didik sesuai dengan potensi dan kemampuannya masing–masing, serta sesuai juga dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni, serta kebutuhan masyarakat pada umumnya. Paradigma pendidikan yang memberikan kewenangan luas kepada sekolah dalam mengembangkan berbagai potensinya memerlukan peningkatan kemampuan kepala sekolah dalam berbagai aspek manajerial, agar dapat mencapai tujuan sesuai dengan visi dan misi yang diemban sekolahnya. Dalam kerangka inilah, kepala sekolah dituntut untuk memiliki kemampuan manajemen dan kepemimpinan yang tinggi untuk membangun sekolah efektif dengan kualitas manajemen yang ditandai oleh beberapa indikator sebagai berikut: (1) efetifitas belajar dan pembelajaran yang tinggi; (2) kepemimpinan yang kuat dan demokratis; (3) manajemen tenaga kependidikan yang efektif dan profesional; (4) tumbuhnya budaya mutu; serta (5) teamwork yang cerdas, kompak dan dinamis (Mulyasa, 2012: 7). Kepala sekolah merupakan salah satu unsur dari satuan pendidikan, khususnya pendidikan sekolah menengah pertama. Unsur ini berperan penting dalam menentukan keberhasilan sekolah. Keberhasilan itu ditentukan antara lain oleh kepemimpinan kepala sekolahnya. Akhir-akhir ini dijumpai banyak kepala sekolah terkesan memimpin lebih dominan menggunakan emosionalnya daripada rasionalnya, mulai dari bersikap, bertutur kata, bahkan sampai melaksanakan tugas seperti yang diatur oleh KEPMEN Pendidikan No. 62/U/1996 bahwa kepala sekolah adalah guru yang mendapat tugas tambahan sebagai kepala sekolah dan harus mengajar sekurang kurangnya enam jam pelajaran per minggu. kepala sekolah yang baik akan dipercaya oleh konstituennya atau pengikutnya. Kepala sekolah adalah pemimpin pendidikan yang bertanggungjawab menciptakan lingkungan belajar yang kondusif yang memungkinkan anggotanya mendayagunakan dan mengembangkan potensinya seoptimal mungkin (Rifa’i dan Murni, 2009 :295). Dibagian lain Veitzal Riva’i dan Sylviana Murni (2009:307) mengatakan bahwa peran seorang pemimpin tak ubahnya sebagai seorang dirigen sebuah orkestra simponi. Ia mampu dengan mempergunakan keterampilan memimpinnya mengembangkan seluruh unsur keahlian dan keterampilan anggota orkestra itu dipandu menjadi sebuah orkes yang manis. Gerakannya menjadi panutan bagi anggotan-anggota orkestra itu. Selama ini diamati kepemimpinan sejumlah kepala sekolah menengah pertama negeri yang ada di wilayah utara Kabupaten Tabalong terkesan masih perlu dipertanyakan. Hal lain yang terlihat dalam studi pendahuluan yang peneliti lakukan di lapangan adalah : 1. Lemahnya kemampuan manajerial kepala sekolah. Hal ini dapat terlihat dari beberapa program yang ditawarkan jarang terlaksana dengan baik. Potensi guru yang merupakan sumber daya manusia yang bisa diberdayakan kadangkala tidak diketahui dengan baik oleh kepala sekolah. Kepala sekolah pada dasarnya memiliki gaya kepemimpinan yang tidak disukai oleh guru-gurunya. Akibatnya sering terjadi konflik dengan guru, tenaga administrasi, dan bahkan siswa. 2. Sebagian besar mereka tidak melaksanakan tugasnya seperti apa yang dikenal dengan istilah EMASLIM. Educator (membimbing, mengembangkan staf, mengikuti perkembangan iptek dan memberikan contoh), Manager (diantaranya menyusun program, melaksanakan program, disini program dari tahun ke tahun sudah ada dan masing-masing dijalankan oleh para wakil kepala sekolah, akhirnya kegiatan di sekolah itu membosankan tidak ada kegiatan yang membuat atau memancing sesuatu yang baru yang lebih menguntungkan), Administrator (disini sudah barang tentu segala urusan keadministrasian dikerjakan oleh tenaga administrasi atau yang kita kenal dengan tata usaha), Supervisor (sejauh ini yang penulis lihat dan dengar informasi dari teman-teman guru jarang sekali kepala sekolahnya melaksanakan kegiatan supervisi, mereka langsung saja percaya dan menyerahkan sepenuhnya kepada guru-gurunya dengan alasan sejauh ini hasilnya baik-baik saja), Leader (disini sebagian kepala sekolah diangkat karena SK bukan karena kemampuan memimpinnya), Inovator (tidak mau berubah, sebagian hanya menjalankan rutinitas), Motivator (mestinya seorang kepala sekolah selalu memberikan dorongan kepada bawahan untuk berprestasi/bukan sebaliknya khawatir kalau ada bawahan yang hebat, kreatif dan berprestasi secara akademik, pada akhirnya segala cara dilakukan agar bawahan merasa tidak nyaman. Kemudian kepala sekolah juga mulai kurang memberi keteladanan, kata-kata yang dikeluarkan kadang kurang pantas didengar, bahasa yang digunakan dalam berkomunikasi sering terkesan minta diakui atau disanjung, kadang juga dalam berkomunikasi tidak ada beda antar situasi formal dan non formal. Kenyataan yang seperti itu berlanjut dari tahun ketahun khususnya dibeberapa SMP negeri di wilayah utara Kabupaten Tabalong. 3. Adanya kekurangpuasan guru terhadap kepemimpinan kepala sekolah, karena lemahnya informasi dan komunikasi kebijakan program sekolah kepada seluruh warga sekolah. Karena kurangnya harmonis hubungan komunikasi interpersonal antara atasan dan bawahan (antara kepala sekolah dan guru) akan berpengaruh juga terhadap semangat para guru dalam melaksanakan tugasnya. Sehubungan dengan beberapa masalah diatas penulis ingin mengkaji beberapa faktor yang diduga ikut berperan dalam masalah meningkatkan kepuasan kerja guru khususnya dari segi kepemimpinan transformasional dan komunikasi interpersonal kepala sekolah. Selanjutnya beberapa masalah yang diuraikan diatas menunjukkan betapa rumit dan kompleksnya permasalahan manajemen dan kepemimpinan kepala sekolah khususnya pada jenjang pendidikan menengah pertama di wilayah utara Kabupaten Tabalong. Menyadari hal tersebut, dirasakan perlunya suatu model kepemimpinan yang diduga efektif dan efisien untuk mengatasi berbagai permasalahan yang diuraikan diatas yaitu model kepemimpinan transformasional. Menurut Burn (Suriansyah dan Aslamiah, 2012:113) mendefinisikan kepemimpinan transformasional menekankan perlunya pemimpin menyokong bawahannya untuk melakukan tanggungjawab lebih dari yang diharapkan. Pemimpin trasformasional harus mampu mendefinisikan, mengkomuikasikan, dan mengartikulasikan visi organisasi sehingga bawahan dapat menerima serta mengakui kredibiliti pemimpinnya. Sedangkan menurut Hater dan Bass (Suriansyah dan Aslamiah, 2012:113) menyatakan bahwa: “The dynamic of transformational leadership involve strong personal identification with the leader, joining in shared vision of the future or going beyond the self interest exchange of reward for compliance”. Dengan demikian, pemimpin transformasional merupakan pemimpin yang kharismatik dan mempunyai peran utama serta strategi dalam membawa organisasi mencapai tujuan. Pemimpin transformasional juga harus mempunyai kemampuan untuk menyamakan visi masa depan dengan bawahannya, serta meningkatkan kebutuhan bawahan pada tingkat yang lebih tinggi daripada yang mereka inginkan. Selanjutnya menurut Yammario dan Bass (Suriansyah dan Aslamiah, 2012:114), pemimpin transformasional harus mampu membujuk para bawahannya untuk melakukan tugas melebihi kepentingan sendiri demi kepentingan organisasi yang lebih besar. Pemimpin trsnformasional juga harus mengartikulasikan visi masa depan organisasi yang realistik, mestimulan bawahan dengan cara yang intelek dan menaruh perhatian terhadap perbedaan – perbedaan yang dimiliki bawahannya. Dengan demikian, seperti yang diungkapkan oleh Teddy dan Devanna (Suriansyah dan Aslamiah, 2012:114), keberadaan para pemimpin transformasional mempunyai efek transformasi, baik pada tingkat organisasi maupun pada tingkat individu. Lebih lanjut mereka juga menunjukkan bahwa pemimpin transformasional melakukan proses transformasi dalam tiga tahap yaitu (1) Identifikasi kebutuhan akan perubahan, (2) Menciptakan visi baru, (3) Melembagakan pembaharuan. Untuk mengimplementasikan model kepemimpinan transformasional dengan baik, maka diperlukan kemampuan komunikasi kepala sekolah yang mumpuni. Yang dimaksud dalam hal ini adalah komunikasi interpersonal bersifat dialogis, dalam arti arus balik antara komunikator dengan komunikan terjadi langsung, sehingga pada saat itu juga komunikator dapat mengetahui secara langsung tanggapan dari komunikan, dan secara pasti akan mengetahui apakah komunikasinya positif, negatif dan berhasil atau tidak berhasil. Apabila tidak berhasil, maka komunikator dapat memberi kesempatan kepada komunikan untuk bertanya seluas-luasnya. Komunikasi merupakan suatu hal yang sangat mendasar dalam kehidupan manusia. Dan bahkan komunikasi telah menjadi suatu fenomena bagi terbentuknya suatu masyarakat atau komunitas yang terintegrasi oleh informasi, dimana masing-masing individu dalam masyarakat itu sendiri saling berbagi informasi (information sharing) untuk mencapai tujuan bersama. Komunikasi secara terminologis merujuk pada adanya proses penyampaian suatu pernyataan oleh seseorang kepada orang lain. Jadi dalam pengertian ini yang terlibat dalam komunikasi adalah manusia. Merujuk pada pengertian Richard et al. (2009: 326) menyatakan bahwa, Communication is the understood as a process beginning with an intention to exchange certain information with others. Bahwa komunikasi manusia adalah proses yang melibatkan individu-individu dalam suatu hubungan, kelompok, organisasi dan masyarakat yang merespon dan menciptakan pesan untuk beradaptasi dengan lingkungan satu sama lain. Menurut Judith (2005: 4) mendefinisikan “Communication is the sharing of ideas, knowledge, feelings, and perceptions”. Komunikasi adalah suatu proses melalui dimana seseorang (komunikator) menyampaikan stimulus (biasanya dalam bentuk kata-kata) dengan tujuan mengubah atau membentuk perilaku orang-orang lainnya (khalayak). Pergaulan manusia merupakan salah satu bentuk peristiwa komunikasi dalam masyarakat. Menurut Schramm (Syaiful. 2009:69) diantara manusia yang saling bergaul, ada yang saling membagi informasi, namun adapula yang mambagi gagasan dan sikap. Menambahkan Nurani (2010: 141) bahwa komunikasi antarpribadi (Interpersonal Communication) pada hakekatnya adalah interaksi antara seorang individu dan individu lainnya tempat lambang-lambang pesan secara efektif digunakan, terutama dalam hal komunikasi antar manusia menggunakan bahasa. Komunikasi yang efektif ditandai dengan hubungan interpersonal yang baik. Kegagalan komunikasi sekunder terjadi, bila isi pesan kita dipahami, tetapi hubungan di antara komunikan menjadi rusak. Untuk menumbuhkan dan meningkatkan hubungan interpersonal, kita perlu meningkatkan kualitas komunikasi. Bila seseorang punya perasaan bahwa dirinya tidak akan dirugikan, tidak akan dikhianati, maka orang itu pasti akan lebih mudah membuka dirinya. Komunikasi antarpribadi (interpersonal communication) adalah komunikasi antara individu-individu (Littlejohn. 2008: 234). Bentuk khusus dari komunikasi antarpribadi ini adalah komunikasi dyadic yang melibatkan hanya dua orang secara tatap-muka, yang memungkinkan setiap pesertanya menangkap reaksi orang lain secara langsung, baik secara verbal ataupun nonverbal, seperti suami-isteri, dua sejawat, dua sahabat dekat, seorang guru dengan seorang muridnya, dan sebagainya. Selanjutnya Nurani, (2010: 142) menegaskan bahwa komunikasi interpersonal didefinisikan sebagai suatu proses pengiriman dan penerimaan pesan-pesan antara dua orang atau di antara sekelompok orang-orang dengan beberapa efek dan beberapa umpan balik seketika. The process of sending and receiving messages between two persons, or among a small group of person, with some effects and some immidiate feedback. Komunikasi interpersonal sangat potensial untuk menjalankan fungsi instrumental sebagai alat untuk mempengaruhi atau membujuk orang lain, karena kita dapat menggunakan kelima alat indera kita untuk mempertinggi daya bujuk pesan yang kita komunikasikan kepada komunikan kita. Sebagai komunikasi yang paling lengkap dan paling sempurna, komunikasi antarpribadi berperan penting hingga kapanpun, selama manusia masih mempunyai emosi. Kenyataannya komunikasi tatap-muka ini membuat manusia merasa lebih akrab dengan sesamanya, berbeda dengan komunikasi lewat media massa seperti surat kabar, televisi, ataupun lewat teknologi tercanggihpun. Dengan mencermati beberapa pendapat ahli di atas, maka kontribusi komunikasi interpersonal seorang guru terhadap pengembangan kompetensi guru tersebut memegang peranan penting, baik komunikasi secara vertikal maupun horisontal, komunikasi verbal maupun non verbal. Hasil riset menunjukkan bahwa komunikasi yang paling buruk, sering disebut sebagai sumber konflik antar pribadi. Salah satu kekuatan yang paling menghambat rendahnya semangat kerja adalah kurangnya komunikasi yang efektif. Menurut Suparlan (2006: 75) menyatakan profesionalisme guru didukung oleh tiga hal yang amat penting, yakni: (1) keahlian, (2) komitmen, dan (3) ketrampilan. Untuk dapat melaksanakan tugas profesionalnya dengan baik dan terukur, sejak lama pemerintah telah berupaya untuk merumuskan perangkat standar kompetensi guru. Dapat dianalogikan dengan “ Berilah aku guru yang baik, yang dengan kurikulum yang kurang baik sekalipun aku akan dapat menghasilkan peserta didik yang baik”. Artinya bahwa aspek kualitas guru masih lebih penting dibandingkan kurikulumnya. Karena guru menjadi yang amat bertanggung jawab terhadap keberhasilan pelaksanaan kurikulum. Guru adalah ‘Man behind the curriculum’ atau manusia yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan kurikulum, ‘The man behind the gun’ atau manusia yang berada di belakang ‘senjata’ yang digunakan. Oleh Rizekan (2010: 33) mengemukakan komitmen guru adalah kesediaan seorang guru untuk mengorbankan waktu dan tenaganya secara relatif lebih banyak dari kewajiban yang seharusnya dilaksanakan. Komitmen merupakan suatu keputusan atau perjanjian seseorang dengan dirinya sendiri untuk melakukan atau tidak melakukan suatu pekerjaan. Seseorang yang memiliki suatu komitmen maka ia tidak ragu-ragu dalam menentukan sikap dan bertanggung jawab terhadap keputusan yang diambil tersebut. Hal ini menandakan bahwa komitmen dapat diartikan sebagai tekad yang kuat atau ikrar untuk taat dan patuh, dengan tanggung jawab dan keterikatan sehingga keputusan yang diambil berdasarkan sikap-sikap dan perjanjian yang dianut saat itu dan cenderung mengkristalisasikan sikap-sikap. Dengan didukung kemampuan komunikasi interpersonal guru, maka komitmen guru untuk melaksakan tugas juga semakin meningkat, hal ini mengingat bahwa manusia itu sendiri adalah sebagai makhluk sosial atau bermasyarakat. Artinya peranan kualitas dari hubungan komunikasi interpersonal akan mempengaruhi kerja sama, kegairahan dan keramahan dalam melaksanakan tugas. Faktor kepemimpinan transformasional yang diartikulasikan melalui komunikasi interpersonal yang baik oleh kepala sekolah diduga akan memberikan implikasi positif terhadap kepuasan kerja guru (job satisfaction) yaitu menunjukkan sikap umum seorang individu terhadap pekerjaannya. Seorang dengan sikap kepuasan tinggi menunjukkan sikap yang positif terhadap kerja, seseorang yang tidak puas terhadap pekerjaannya menunjukkan sikap yang negatif terhadap pekerjaan tersebut (Robins, 2003:68). Kepuasan kerja yang tinggi menandakan bahwa sebuah organisasi sekolah telah dikelola dengan baik dengan manajemen yang efektif. Menurut Menurut Halawa (2002:42) kepuasan kerja adalah keadaan emosional yang dimiliki oleh seorang guru yang menyenangkan. Sedangkan Riggio (Hadjam dan Nasiruddin, 2003) menyatakan bahwa kepuasan kerja didefinisikan sebagai perasaan dan perilaku individu berkenaan dengan pekerjaannnya. Kepuasan kerja dalam penelitian ini adalah suatu perasaan yang menyokong dari guru yang berhubungan dengan pekerjaan melibatkan seluruh aspek-aspek dalam pekerjaan tersebut. sub variabel kepuasan kerja bagi guru adalah prestasi, promosi, penghargaan, tanggung jawab, kerja itu sendiri dan gaji.

Posting Komentar

 
Top