LIPI Beri Strategi untuk Masyarakat Menghadapi MEA
31 Desember 2015 mendatang, Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) resmi diberlakukan. Pembentukan komunitas regional ini merupakan transformasi peralihan kebijakan dari state-oriented ke people-oriented dan people-centeredness dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Namun, keberadaan MEA juga membawa tantangan bagi Indonesia terutama dalam hal daya saing dan ketahanan sektor-sektor ekonomi serta pelaku yang ada di dalamnya. Namun, pemahaman dan kesiapan masyarakat yang cenderung rendah menjadi masalah. Hal tersebut mendorong Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menyusun Policy Paper Strategi Peningkatan Pemahaman Masyarakat Tentang Masyarakat Ekonomi ASEAN dan akan dilaunching pada Rabu, 2 Desember 2015.
Jakarta, 1 Desember 2015. Keberlangsungan MEA akan berdampak besar atas aspek fundamental ekonomi Indonesia, baik secara langsung maupun tidak langsung seperti aliran barang dan jasa, modal, investasi maupun aliran bebas tenaga kerja dalam kawasan regional ASEAN. Merespon pemberlakukan MEA 2015, Pemerintah Indonesia telah secara proaktif mengeluarkan tiga Instruksi Presiden Republik Indonesia (INPRES) sebagai langkah antisipatif guna meningkatkan daya saing nasional. Namun, implementasi peraturan pemerintah dan sosialisasi yang dilakukan oleh para pemangku kebijakan kepada masyarakat belum optimal. Hasil survei terhadap masyarakat (konsumen dan produsen) yang dilaksanakan LIPI pada bulan Mei 2015 lalu menunjukan adanya kesenjangan pemahaman masyarakat tentang MEA.
“Selama ini, program sosialisasi MEA ditujukan kepada para pemangku kepentingan, terutama para pelaku usaha,” jelas Kepala LIPI, Prof. Dr. Iskandar Zulkarnain. Rendahnya pemahaman masyarakat tentang MEA dapat menjadi halangan internal bagi pelaksanaan kebijakan nasional dalam upaya mencapai tujuan MEA itu sendiri, lanjut Iskandar.
Sebagai pasar bebas sekaligus basis produksi, ASEAN merupakan pasar yang relatif besar dengan jumlah penduduk sekitar 650 juta jiwa. “Bagi masyarakat konsumen, MEA bisa dipastikan akan memberikan keuntungan. Namun bagi dunia usaha apakah mereka sudah siap?” ujar Dr. Tri Nuke Pudjiastuti, MA, Peneliti Senior Pusat Penelitian Politik LIPI yang juga Koordinator pada tim survei ASEAN LIPI.
Berdasarkan survei tersebut, didapatkan bahwa salah satu upaya menyiapkan diri untuk bersaing dengan tenaga kerja asing adalah melalui berbagai pendidikan dan pelatihan, baik formal maupun informal. Di samping itu, beberapa indikator menunjukkan ancaman bagi kegiatan produksi oleh industri dalam negeri. Membanjirnya produk luar negeri dan lemahnya kemampuan ekspor pengusaha lokal akibat ketidakpahaman terhadap MEA diprediksikan akan muncul dalam waktu dekat. Jika beberapa permasalahan tersebut tidak dikelola dengan tepat, maka Indonesia hanya merupakan basis konsumen bagi negara-negara ASEAN lainnya.
Dilatarbelakangi oleh hal di atas, LIPI berikan beberapa rekomendasi untuk meningkatkan kesiapan masyarakat. “Kita harus bergerak di tiga tingkat. Pertama, tingkat kebijakan dan peraturan. Presiden harus menjadi pendorong utama pelaksanaan masyarakat ASEAN,” jelas Nuke. Selain itu, Kementerian Koordinator Bidang Ekonomi, Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, dan Badan Standardisasi Nasional harus berkoordinasi untuk memformulasikan kebijakan, membangun strategi dalam rangka memperkuat daya saing melalui peningkatan kualitas produk yang dihasilkan.
Kedua, tingkat relasi institusi. Kementerian Luar Negeri harus memfungsikan kembali Sekretarian ASEAN, sementara itu Kementerian Koordinator Bidang Ekonomi memperkuat koordinasi antar kementerian dan lembaga secara vertikal dan horizontal dalam kerangka Rencana Aksi Nasional sampai tingkat bawah sesuai tugas dan fungsinya. Ketiga, tingkat teknis. Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian mengoptimalkan fungsi koordinasi sebagai “pusat komando” pelaksanaan MEA di Indonesia. “Sementara itu, Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, Kementerian Keuangan, Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah serta lembaga terkait mendorong pertumbuhan sektor riil, terutama UKM dengan meningkatkan akses kredit (subsidi suku bunga), stimulus non-kredit (kemudahan pengurusan SNI), dan pendampingan UKM,” pungkas Nuke.
http://u.lipi.go.id/1449814829
Posting Komentar